page

Blogger Tips And Tricks|Latest Tips For Bloggers Free Backlinks

Selasa, 22 Januari 2013

Empat Tahun Tinggal di Rumah Hantu Bagian 2

BAGIAN DUA

Kami memasuki rumah. Kamar Ratih kelihatan gelap, lampunya tidak dinyalakan. Saya melihat sosok tubuh Ratih yang diam kaku, sama sekali tidak terusik dengan kehadiran kami. “Sakitkah dia?” fikir saya. Tetap dengan keadaannya yang diam kaku, pintu yang sedikit menganga kami buka lebar. Istriku bertanya “Kenapa kamu diam saja? Dari tadi kami panggil-panggil, kamu kenapa diam saja?” Tidak ada respon, Ratih tetap diam dengan sebagian rambut panjangnya menutupi muka. Muka Ratih nyaris tidak kelihatan, hanya dagunya saja yang kelihatan sangat pucat. Dia bangkit dan terduduk dengan memeluk sebelah kakinya di atas ranjang. Anak bayiku menangis tiba-tiba. Mungkin karena kesal merasa dicueki, istriku berteriak. “Kamu kenapa diam saja? Apa yang kamu lakukan?!”

Ratih diam saja, namun tiba-tiba dia menangis dengan suara lantang, lebih menyerupai jeritan. Huah……….ckhdggrkhhh….!! Saya tidak mau tahu urusanmu…! Saya mau bebas..!” Suara itu terdengar sangat keras melengking, memecah kesunyian petang.

“Saya tidak peduli…..!” “Hi hi hi hi hi hi hi…. Hi hi hi hi….” Suara lantang itu berubah menjadi suara tawa. Ya, suara tertawa yang sangat mengerikan. Bulu kuduk saya langsung berdiri, merinding! Istri saya diam saja, mungkin schok dengan jawaban yang baru saja ia terima. Tapi saya mengkap hal yang sayah. Dari pertama kedatangan kami, dan apalagi dengan suara tangis yang tiba-tiba berubah menjadi suara tertawa melengking yang menakutkan. Saya tarik tubuh istri untuk menjauhi tubuh Ratih. Suara tertawa masih melengking-lengking, berpadu dengan tangis anak saya yang makin keras. “Ma, tunggu di sini sebentar. Saya keluar” kata saya, lengsung berlari menuruni tanjakan.

Saya langsung menuju ke tempat pemancingan, di sana ada satu ruangan yang memang digunakan sebagai tempat istirahat pegawai pemancingan sekaligus tempat biasa saya nongkrong. Ada 6 orang bergerombol membentuk lingkaran, mereka sedang main domino. Kaget melihat kedatangan saya yang mendadak. “Ada apa ya Pak?” Tanya Pak Narto yang lagi main domino. Pak Narto ini sehari-hari sebagai pegawai pemancingan yang cukup akrab dengan saya, karena sebelum kami menempati rumah ini pun saya sudah mengenalnya. Setelah saya jelaskan hal kejadian yang baru saja kami alami, semua orang yang ada di pemancingan langsung berlari menghambur ke rumah saya, istri saya masih ketakutan tapi berusaha menenangkan diri, memeluk si kecil. Orang-orang tercekat melihat pemandangan dihadapannya. Ratih dengan rambut yang masih riap-riapan menutupi mukanya, berputar-putar di atas ranjang, tidak menempel kasur! Ya, Ratih melayang-layang dengan suara tangis dan tawa yang bergantian, memekakkan telinga. Salah satu orang dari kelima rombongan langsung inisiatif memanggil orang pintar, agak jauh dari rumah.

Sementara kami tercengang dengan kejadian terbangnya Ratih, tanpa fikir panjang Saya dengan Pak Narto dan Mul memegang tubuh Ratih dan menempelkannya ke ranjang. Saya membaca doa-doa dengan suara keras, dan Ratih kelihatan agak melunak. Dua orang memegangi kaki Ratih. “Saya tidak mau anak ini tinggal di sinii!!” teriakan panjang kembali terucap dari bibir Ratih. Saya yakin itu bukan suara Ratih yang biasanya. “Siapa kamu?” saya berteriak tak kalah kencang. “Saya Kuntilanak..!!!” teriak bibir Ratih yang sudah berubah putih pucat, saya tercengang, bergidik. Kaki dan tangan terasa dingin banget. Saya lepasin pegangan pada tubuh Ratih, sambil membaca ayat Al Fatihah! Dengan nanar Ratih memandang kearah saya dan berucap. “Ha ha ha aha ha… baca aja terus..!” Saya terdiam. Istri Saya sudah mulai tenang, mungkin sudah menyadari apa yang sudah terjadi dihadapannya. Dia membaca Ayat Kursi, orang-orang ikut membaca Ayat Kursi, tapi Ratih semakin lantang tertawa. “Jangan baca Ayat Kursi, baca surat Yasin!” Istrikupun langsung membaca Surat Yasin, namun belum selesai istri saya membaca Surat Yasin, si Ratih sudah berubah kembali menjadi Kuntilanak dan berteriak “jangan begitu bacanya.. kamu Salah!! Ambil Alqur’an, bacakan Yasin secara benar..!”
Bersamaan dengan itu paranormal atau orang pintar yang dipanggil Mul datang. Paranormal langsung melakukan sholat di ruang tamu, dan istri saya mengambil Alqur’an. Membacanya dengan terburu-buru karena mulut Ratih tetap meracau tidak karuan….

Empat Tahun Tinggal di Rumah Hantu Bagian 1

BAGIAN SATU

Tempat tinggal kami dulu termasuk dalam kawasan yang sepi, terutama pada malam hari. Memang tidak begitu jauh dari keramaian kota Cimanggis, merupakan salah satu kota di Depok. Konon orang bilang Depok adalah tempat Jin buang anak, namun tidak ada sedikitpun saya mempercayai perihal Jin buang anak dalam cerita-cerita orang.

Untuk mencapai rumah kami tersebut masih harus menggunakan jasa tukang ojek atau naik motor sendiri, karena belum ada angkot yang melewati daerah kami. Jarak dari Jalan Raya Bogor ke dalam memang masih jauh sekitar dua kilometer. Bila anda naik motor, maka dengan leluasa akan melihat keindahan di sepanjang jalan, melewati dua buah tanjakan yang terasa curam. Di tanjakan ke dua inilah tempat Saya dan anak istri bernaung beberapa tahun lamanya. Rumah dengan kiri kanan kesunyian. Sebelah kanan hamparan sawah dari lapangan golf Emeralda yang belum digunakan oleh perusahaan, sehingga digarap oleh penduduk sekitar. Lengkap dengan jurang terjal dan empang yang bila dilihat seksama lebih menyerupai telaga, apalagi bila malam, tampak hitam pekat.

Di sisi depan dan kiri tempat kami terdapat sebuah tanah kosong. persis di kiri penuh belukar yang semula digunakan sebagai lapangan bulu tangkis yang akhirnya dibiarkan mati begitu saja menjadi rimbunan rumput ilalang. Bila malam hari anda melewati jalanan di depan rumah kami, pasti akan tergerak untuk melihat kesunyian yang mendirikan bulu roma, yang hanya terdengar desau angin dan gesekan rumput ilalang.

Tepat di rumah kami ini, jangan harap anda mendapatkan penerangan jalan dari rumah kami. Meskipun ada beberapa stop kontak dan bekas lampu penerang di depan rumah, tapi tidak pernah lagi kami nyalakan. Mungkin orang akan berpendapat betapa pelitnya kami sampai lampu jalan atau minimal lampu depan rumah saja tidak dinyalakan. Itu mungkin pendapat orang yang baru lewat. Mungkin. Tapi bagi penduduk sekitar kampung kami tentunya tidak asing lagi dengan hal gelapnya depan rumah kami. Sengaja kami tidak menyalakan lampu depan rumah karena kami sudah merasa bosan untuk menyalakannya. Kenapa Bosan? Kelak anda akan mengetahui dengan sendirinya nanti.

Rumah ini kami tinggali sejak beberapa tahun yang lalu. Saya bangga menempati rumah dengan desain yang artistik dan terletak di tanah yang cukup tinggi dibanding tanah sekitar, sehingga jika dilihat dari bawah tanjakan, akan nampak seperti villa di atas bukit.

Rumah ini kami beli dari seorang pensiunan kolonel tentara yang pindah karena sesuatu hal. Hari pertama kami menempati rumah ini, seperti lazimnya orang pindahan kami melakukan selamatan dengan mengundang beberapa tetangga. Malamnya kami lewatkan dengan tidur yang pulas karena suasana sekitar rumah memang asri dengan hawa dingin menyejukkan dibawa oleh angin dari padang golf.

Beberapa hari lamanya tinggal di sini tak ada kejadian yang sayah, sampai pada suatu pagi saya mendapati rokok filter yang baru saja saya beli, hilang secara misterius. Sebungkus rokok itu baru saya hisap satu batang, lainnya masih utuh. Itulah awal mula kesayahan yang kami dapatkan. Kalau hilangnya bukan didepan mata saya sendiri, mungkin saya tidak peduli. Toh hanya sebungkus rokok, apa artinya sebungkus rokok yang hilang. Tapi yang membuat saya penasaran adalah bahwa rokok itu hilang di depan mata saya sendiri, di mana tidak ada seorangpun yang lewat atau pernah bergabung beberapa waktu sebelumnya di sini. Namun sejalan waktu akhirnya saya anggap rokok tersebut hilang begitu saja, dan melupakan kejadian itu. Dua hari kemudian saya dikejutkan dengan kemunculan kembali rokok saya yang hilang tepat di tempat semula. Rokok itu masih utuh, tepat kurang satu batang karena sudah saya hisap sebelumnya. Saya tanya pembantu saya, apakah dia yang sengaja berbuat begitu untuk mengerjai atau menakuti saya, nyatanya bukan dan pembantu ini juga merasa takjub bercampur ketakutan. Lagi-lagi saya anggap bahwa kejadian yang saya alami ini hanyalah kebetulan atau saya yang salah lihat.

Saya punya anak kecil, laki-laki yang berusia 1,5 tahun waktu kami baru menempati rumah ini. Tidak ada lain dan bukan, yang dikerjakan anak saya ini nangis tiap hari. Bagi saya mendengar tangis bayi terus-menerus adalah hal yang biasa. Tapi kalau tangis itu berkepanjangan dan tak henti-hentinya, tentulah jadi masalah juga bagi kami.

Kami sengaja memberikan pengasuh khusus pada bayi kami ini, seorang ibu paruh baya yang cukup rajin dalam mengerjakan sesuatu. Ibu ini sangat tanggap pada apa yang harus dia kerjakan tanpa kami menyuruhnya. Dia mulai bekerja setelah pembantu yang pertama pulang tanpa sebab musabab yang jelas. Kehadiran ibu ini ditengah-tengah kami adalah hal yang istimewa, di mana kami menganggap dia sebagai ibu kami sendiri. Di saat-saat kami mulai dicekam rasa penasaran dan ketakutan dengan kejadian demi kejadian sayah, keberada